HUKUM BATALNYA WUDHU ANTARA SUAMI ISTRI
oleh Hj. Ruqaiyah Arifin
Tanya:Ustadzah, saya mau tanya tentang hukumnya bersentuhan kulit antara suami & istri, apakah itu membatalkan wudhu kami apa tidak mohon dijelaskan kalau ada beserta dalilnya (Al Qur’an & Hadist) demikian saya sampaikan, terimakasih atas perhatiannyaHari-Lahat
Jawab:Pak Hari yang baik, pertanyaan anda tentang hukum bersentuhan kulit antara suami-istri “apakah membatalkan wudhu atau tidak”, ada beberapa pendapat fuqaha (ulama ahli fiqh) dalam masalah ini.Sebelumnya perlu anda ketahui, bahwa hukum ini umum, tidak terbatas terhadap istri saja, akan tetapi mencakup seluruh wanita yang halal dinikahi, termasuk istri anda sendiri.Pertama, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (halal untuk dinikahi) tidak membatalkan wudhu, baik persentuhan kedua kulit itu didorong oleh syahwat atau tidak, dengan alasan bahwa firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 42 yang artinya : “atau ketika kamu menyentuh wanita (maka wajib bersuci)” mengandung arti khusus, yaitu bukannya semata-mata bersentuhan kulit, melainkan jima’ (bersenggama). Oleh karena itu tidak batal kalau terjadi persentuhan kulit saja, dan batal kalau terjadi jima’.
Dan beliau juga menggunakan dalil hadis dari Aisyah ra. : “bahwa Nabi saw. pernah mencium para istrinya, kemudian beliau langsung salat tanpa berwudhu terlebih dahulu. Diriwayatkan juga bahwa Nabi saw. telah melakukan salat di dalam rumah Aisyah yang sempit, pada waktu itu Aisyah berbaring di dekat beliau. Ketika Nabi sujud tersentuhlah kaki Aisyah.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram akan membatalkan wudhu secara mutlak, baik persentuhan itu disertai syahwat atau tidak. Menurut Imam Syafi’i ayat 42 surat al-Nisa’ itu tidak berarti “menyentuh” dengan arti bersenggama (jima’). Kesimpulannya, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa ada penghalang akan membatalkan wudhu, baik disertai syahwat atau tidak.Dan pendapat yang terakhir adalah pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu selama itu tidak disertai syahwat.
Sekarang tinggal Anda menyesuaikan sendiri, dengan pendapat mana merasa lebih cocok. Ketiga-tiganya sama-sama mempunyai dasar, baik Qur’an dan hadis.
SUMBER: http://sumsel.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=11496
Apakah bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak? Manakah yang lebih rajih di antara keduanya? Dan apakah hadits yang mengatakan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu lagi, itu umum berlaku untuk kaum Muslimin juga? Jazakallah khairan.
‘Abdullah, Tangerang, 856912xxxx
Jawab:
Tentang laki-laki menyentuh perempuan apakah membatalkan wudhu’ atau tidak, terdapat 3 pendapat Ulama tentang hal ini:[1]
Membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما.
Membatalkan wudhu’ jika dengan syahwat. Ini merupakan pendapat Imam Malik رحمه الله dan Imam Ahmad رحمه الله dalam riwayat yang masyhur darinya.
Tidak membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله dan muridnya, yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Juga pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Hasan Bashri, ‘Atha’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga inilah yang rajih (kuat). Pendapat kedua nampaknya tidak ada dalil yang mendukungnya. Pendapat pertama berdalil dengan firman Allah عزّوجلّ:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Qs al-Maidah/5:6)
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهم mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jima’.[2]
Namun Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما menyelisihi penafsiran di atas, dia berkata, “(Kata) mass, lams, mubasyarah (semua artinya menyentuh -red) maksudnya adalah jima’, tetapi Allah عزّوجلّ menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki.”[3]
Jika para Sahabat berbeda pendapat, maka kita memilih pendapat yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan ternyata yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnu Abbas رضي الله عنهما. Karena banyak hadits yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita tidak membatalkan wudhu’. Inilah di antara dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
Dari Aisyah رضي الله عنها, Istri Nabi صلى الله عليه وسلم, dia berkata, “Aku tidur di depan Rasulullah صلى الله عليه وسلم (yang sedang shalat -pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku”.[4]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
Dari Aisyah رضي الله عنها , dia berkata, “Suatu matam aku kehilangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.[5]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudhu’ dan shalat. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan shalatnya. Demikian juga Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudhu’, sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi).[6]
Hadits ini juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم juga berlaku bagi seluruh umat beliau kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususan, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau. Wallahu a’lam.
Disalin dari Majalah As-Sunnah No.11/Thn. XIII_1431 H/ 2010 M, rubrik Soal-Jawab, hal. 7-8
[1] Shahih Fiqh Sunnah 1/138-140
[2] Riwayat at-Thabari, 1/502
[3] Riwayat at-Thabari, no. 9581 dan Ibnu Abi Syaibah 1/166
[4] HR al-Bukhari, no. 382 dan lainnya
[5] HR Muslim, no. 486 dan lainnya
[6] HR Abu Dawud, no. 178, dishahitlkan oleh Syaikh al-Albani
Sumber: http://soaldanjawab.wordpress.com/2012/12/02/bersentuhan-kulit-membatalkan-wudhu/